BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara
kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau yang berada diantara
benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang
dilintasi garis Khatulistiwa sehingga secara iklim dikategorikan sebagai Negara
yang beriklim tropis. Letak geografis antara kepulauan serta dua samudra, oleh
karena itu disebut sebagai nusantara (kepulauan antara). Indonesia menempati
peringkat ke-empat didunia dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun
2006, dikenal sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Indonesia
yang merdeka pada tahun 17 Agustus 1945, merupakan satu-satunya Negara di Asia
Pasifik yang kemerdekaannya diraih oleh perjuangan baik secara diplomatik
maupun perlawanan senjata.
Bangsa Indonesia telah
mengalami banyak perkembangan terutama setelah bergulirnya masa reformasi yang
turut serta memberikan perubahan secara ekonomi, sistem pemerintahan, demokrasi
dan perhatian terhadap hak azasi manusia dalam rangka perbaikan dan
penyempurnaan berbagai tatanan hidup dan pembangunan manusia serta bangsa yang
seutuhnya. Seiring dengan upaya mencapai tujuan dari cita-cita reformasi,
Indonesia mendapat berbagai hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam,
korupsi, sparatis, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang
pesat serta pembangunan kesehatan yang belum merata dan belum optimal. Dalam
Undang-undang Dasar 1945 telah dijelaskan bahwa setiap orang berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.”Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Tembakau merupakan salah satu
komoditas utama dan perdagangan indonesia dengan produk utamanya berupa daun
tembakau dan rokok. Industri tembakau indonesia mencakup sektor bahan baku
primer daun tembakau dan cengkeh, serta industri pengolahan rokok. Industri
rokok di Indonesia senduru telah berkembanga menjadi industri nasional bahkan
multinasional dari awalnya yang hanya industri rumah tangga. Penerimaan negara
juga ikut ditopang dari cukai industri rokok (Rahmat,2010). Rokok
merupakan masalah yang sering menimbulkan perdebatan karena berkaitan dengan
banyak aspek mulai dari moral dan perilaku individu pengguna rokok, kebutuhan
dasar buruh dan petani serta pengusaha yang berhubungan dengan industri ini
sampai kepentingan pemerintah yang membutuhkan devisa dari pajak yang
ditetapkan. Jika
asap-asap polutan udara masing-masing mempunyai warna yang berbeda-beda sesuai
dengan sumbernya, mungkin anak-anak di daerah perkotaan punya kesibukan baru
yaitu mengamati langit yang penuh dengan berbagai warna baik warna dasar maupun
kombinasinya setiap hari karena tingginya dan beragamnya polutan yang ada.
Mungkin teman-temannya di daerah pedesaan tidak akan menjumpai ragam warna
sebanyak di daerah perkotaan itu, namun yang jelas langit di desa maupun di
kota pasti memiliki salah satu warna yang sama, yaitu yang berasal dari asap
rokok. Asap rokok merupakan salah satu polutan yang banyak ditemui di kedua
tempat tersebut, bahkan data Susenas 2001 menyebutkan bahwa rokok lebih banyak
dikonsumsi di pedesaan daripada di perkotaan. Diketahui bahwa industri dan asap
kendaraan bermotor juga sangat besar peranannya dalam menciptakan pencemaran
udara, terutama di daerah perkotaan, tetapi dalam hal ini yang akan dibahas
lebih khusus adalah pencemaran yang ditimbulkan oleh rokok
Berdasarkan
penbahasan – pembahasan diatas saya mencoba mengumpulkan dan membandingkan
data-data yang didapat mengenai hal-hal yang menguntungkan dan merugikan
berkaitan dengan industri rokok serta kebijakan yang diharapkan dalam upaya
pengendalian tembakau, maka dari itu saya membuat makalah yang berjudul upaya
pengendalian tembakau dalam pembangunan kesehatan.
2. Rumusan
Masalah
Adapun
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
a.
Bagaimana dampak dari rokok terhadap pembangunan
kesehatan di Indonesia?
b.
Adakah Langkah strategis terkait dalam mengatasi
polemik rokok di indonesia
3.
Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a.
Mengetahui dampak rokok dari berbagi aspek dan upaya
pengendaliannya untuk pembangunan kesehatan
b.
Menerangkan Langkah strategis dalam mengatasi polemik rokok
di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Dampak
Rokok di lihat dari berbagi Aspek
A. Dampak Kesehatan Pada Rokok
Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa apapun bentuknya, produk-produk tembakau berbahaya bagi
kesehatan. Rokok merupakan bentuk produk tembakau yang terbanyak dikonsumsi di
dunia, sehingga produk tembakau cenderung identik dengan rokok. Rokok
mengandung 4000 elemen dan 200 diantaranya sudah terbukti merugikan kesehatan
serta menimbulkan penyakit mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Efek
buruk kesehatan tersebut diderita baik oleh perokok itu sendiri maupun
orang-orang di sekitarnya (perokok pasif), mulai janin dalam kandungan sampai
orang dewasa. Moeloek1 menyebutkan rokok merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam road map hancurnya ekonomi keluarga dan hilangnya suatu
generasi. Hingga saat ini belum ada penelitian signifikan yang melihat keuntungan
merokok bagi kesehatan. Pernah dilaporkan bahwa merokok melindungi pemakainya
dari penyakit Alzheimer, tetapi dibantah oleh penelitian lain yang mengemukakan
bahwa jarang perokok yang mencapai usia lanjut sehingga terserang Alzheimer.
Beberapa studi mencatat bahwa merokok menurunkan insiden endometriosis pada
wanita yang mengalami infertilitas, walau sudah terbukti bahwa merokok
meningkatkan angka infertilitas itu sendiri. Beberapa penelitian mengkonfirmasi
adanya hubungan terbalik antara merokok dan kejadian penyakit Parkinson. Risiko
penyakit Parkinson secara khusus rendah pada perokok aktif dan pada mereka yang
mempunyai riwayat merokok jangka panjang secara intensif, bahkan dikatakan
penurunan ini berbanding lurus dengan jumlah rokok yang dihisap. Analisis
patofisiologi hal tersebut belum jelas, dan harus ada uji klinik acak dan
kajian epidemologik dengan uji statistik yang akurat untuk memperkuat hasil
penelitian.
B. Dampak Sosial Ekonomi
Dilihat dari segi
ekonomi, rokok memang memberikan kontribusi keuntungan signifikan, yaitu berupa
cukai. Untuk tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp 27 trilyun. Pada 2006 pendapatan
negara dari cukai rokok mencapai Rp 38,53 triliun. Angka ini diharapkan terus bertambah.
Tahun 2007 pemerintah memasang target pendapatan dari cukai Rp 42,03 triliun
dan tahun 2008 naik 2 triliun menjadi Rp 44 triliun atau 5,5 persen dari total
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 763 triliun. Belum lagi
kontribusi dari sektor pertanian dan tenaga kerja. Ada 600 ribu pekerja yang
terlibat langsung dalam industri rokok, terdiri atas 3 217 perusahaan dan jika
dilihat secara tidak langsung, kira-kira 10 juta orang terlibat dalam industri
ini. Beban ekonomi akibat rokok telah dipelajari di beberapa negara seperti
Australia, Kanada, Irlandia, Hongkong,Inggris dan Amerika Serikat. Walaupun
perkiraan biaya yang didapat sangat bervariasi tergantung faktor-faktor yang
diteliti, namun beban ekonomi yang ditimbulkan cukup signifikan, termasuk biaya
kesehatan langsung maupun tidak langsung dan kerugian akibat turunnya
produktivitas. Sebagai tambahan, tempat kerja yang mengizinkan merokok biasanya
membutuhkan biaya renovasi, kebersihan dan pemeliharaan yang lebih tinggi,
serta tingginya tingkat risiko kebakaran yang mempengaruhi tingginya premi
asuransi yang harus dikeluarkan perusahaan.
C. Millenium Development Goals
Kesepakatan MDGs atau Millenium
Development Goals lahir pada September tahun 2000. Kesepakatan tersebut
merupakan komitmen 189 negara anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)
termasuk Indonesia untuk memerangi kelaparan dan kemiskinan di seluruh
dunia, meningkatkan kesehatan, memajukan pembangunan sumber daya manusia
dan mendorong kemajuan ekonomi di negara-negara miskin di dunia.
Enam dari delapan kesepakatan yang dituangkan dalam MDGs berkaitan
dengan masalah kesehatan menunjukkan pentingnya korelasi antara
kesehatan dengan upaya memerangi kemiskinan dan menjamin kelangsungan
pembangunan MDGs meliputi:
1. Memberantas
kemiskinan dan kelaparan.
2. Mewujudkan
pendidikan dasar untuk semua
3. Mendorong kesetaraan
jender dan pemberdayaan perempuan
4. Menurunkan tingkat
kematian anak.
5. Meningkatkan
kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS,
malaria, dan penyakit menular lain.
7. Menjamin kelestarian
lingkungan yang berkelanjutan
8. Mengembangkan
kemitraan global untuk pembangunan
MDGs merupakan target
yang harus dicapai oleh semua anggota pada tahun 2015. Waktu yang telah
berlalu begitu cepat juga memacu bahwa harus dilakukan upaya keras dalam
pencapaiannya, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia.
Semua faktor yang mendukung harus dioptimalkan, dan faktor penghambat
harus diminimalisasinatau bahkan dihilangkan. WHO telah menyatakan bahwa
terdapat relevansi cukup erat dari rokok sebagai salah satu penghambat
pencapaian MDGs. Dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (MDGs
1), tingkat pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh. Data menunjukkan
bahwa justru pada negaranegara miskin jumlah perokok lebih banyak. Pada
rakyat miskin, opportunity cost dari tembakau bisa sangat tinggi.
Pada beberapa negara seperti Bulgaria, Mesir, Indonesia, Myanmark,
dan Nepal, survei tentang pengeluaran rumah tangga menunjukkan bahwa
rumah tangga dengan pendapatan rendah menggunakan 5-15% dari pendapatan
bersihnya untuk tembakau. Banyak keluarga miskin yang menggunakan
lebih banyak uangnya untuk rokok daripada untuk biaya pendidikan atau
kesehatan.6 Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masyarakat
miskin cenderung mengorbankan alokasi belanja bahan kebutuhan pokok
keluarga termasuk beras, susu, telur, dan daging agar tetap
mempertahankan kebiasaan merokok. Pada 1999, proporsi belanja makanan
pokok keluarga miskin sebesar 28 persen turun menjadi 19 persen pada
2003. Pada periode yang sama, proporsi belanja rokok keluarga miskin justru
meningkat, dari 8 menjadi 13 persen. Di Bangladesh, rumah tangga dengan
penghasilan kurang dari US$ 24 per minggu merokok dua kali lebih banyak
dibandingkan rumah tangga dengan penghasilan lebih tinggi. Di negara yang sama,
kelompok miskin menghabiskan dana sepuluh kali lipat untuk rokok dibandingkan
untuk pendidikan. Di negara berkembang, industri dan perkebunan tembakau sering
kali mempekerjakan anak-anak usia sekolah. Kemiskinan dan perburuhan anak menjadi
alasan kuat untuk tidak menyekolahkan anak. Keluarga miskin juga mengutamakan
penggunaan uang untuk rokok daripada untuk pendidikan. Peningkatan pendidikan
berkaitan erat dengan perbaikan kondisi ekonomi dan kesehatan. (MDGs 2).
Gambaran kesuksesan dan rasa percaya diri bagi wanita perokok pernah
dikembangkan dalam promosi oleh perusahaan rokok. Estimasi jumlah perokok
wanita akan meningkat dari 218 juta pada tahun 2000 menjadi 259 juta pada tahun
2025. Perokok wanita mempunyai dampak yang lebih luas, karena selain terkait
dengan risiko pada dirinya, juga bayi yang dikandung, serta anggota keluarga
lain. Dalam suatu keluarga, pengetahuan, sikap, dan perilaku seorang ibu
berpengaruh besar terhadap status kesehatan keluarga(MDGs 3). Rendahnya status
gizi dan kesehatan menjadi penyebab utama tingginya kematian bayi. Penggunaan
uang untuk rokok mengurangi kepedulian terhadap kecukupan nutrisi ibu dan anak
dan pemeliharaan kesehatannya. Beberapa zat berbahaya yang terkandung dalam
rokok bisa melewati sawar darah plasenta sehingga sampai ke janin. Pengaruh
bagi kehamilan dan janin antara lain abortus spontan, gangguan persalinan,
plasenta previa, lahir mati, abruptio plasenta, dan prematuritas. Wanita
perokok atau perokok pasif juga mempunyai risiko lebih besar untuk melahirkan
bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang rentan terhadap masalah
kesehatan. (MDGs 4 dan 5). Merokok meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit
lain pada penderita HIV/AIDS, antara lain pneumonia dan demensia akibat AIDS.
Rokok juga mempercepat TBC subklinis menjadi TBC klinis, dengan kemungkinan
kematian yang lebih tinggi. Di India, merokok mengakibatkan 50% kematian pada
penderita TBC. (MDGs 6) Secara global, pembukaan lahan untuk perkebunan
tembakau dengan pembakaran hutan mencapai 200.000 hektar per tahun mencapai 5%
dari proses deforestasi di negara berkembang, khususnya yang merupakan produsen
besar tembakau seperti Cina, Malawi, dan Zimbabwe. Penggunaan pestisida dalam
perawatan tembakau memacu degradasi tanah, dan industri tembakau menghasilkan
sampah lebih dari 2,5 milyar kilogram per tahun. Dalam implementasi upaya
pengembang kemitraan global untuk pembangunan (MDG 8), harus dilakukan upaya
pengendalian tembakau secara sinergi dari berbagai pihak, sehingga pembangunan
kesehatan dan peningkatan kondisi makroekonomi dapat terwujud. Beberapa studi
yang didanai oleh Bank Dunia menyimpulkan beberapa fakta penting terkait
pentingnya pengendalian tembakau seperti:
·
Pengendalian tembakau tidak akan memicu
Pemutusan Hubungan Kerja secara massif
·
Pajak produk tembakau akan meningkatkan
(bukan menurunkan) pendapatan pemerintah.
·
Pajak terhadap produk tembakau tidak
akan memicu peningkatan bermakna terhadap penyelundupan tembakau
·
Jika pemasukan dari pajak tembakau
menurun, efek positif dari menaikkan pajak produk tembakau terjadi pada rakyat
miskin yang lebih sensitif terhadap kenaikan harga dapat dianggap sebagai
keuntungan lain yang bermakna.
·
Kenaikan biaya tembakau bagi pengguna
dapat dibenarkan, karena dianggap sebagai biaya sosial/ kemasyarakatan mereka
dan kenaikan harga tersebut merupakan motivator untuk meninggalkan tembakau.
·
Pengendalian tembakau sangat efektif dan
efisien, dan dapat diusahakan oleh setiap negara, khususnya negara miskin.
Penelitian menunjukkan
bahwa penerapan model pengendalian tembakau ini memberikan hasil cukup
bermakna. Di Afrika Selatan, pengendalian tembakau telah diterapkan sejak
sekitar tahun 1990 melalui penaikan pajak, mengurangi iklan, pembatasan merokok
di tempat umum, serta melakukan promosi kesehatan. Konsumsi tembakau menurun
lebih dari 30% pada anak muda dan keluarga miskin. Pemerintah juga mendapatkan
keuntungan lebih dari dua kali lipat sebagai akibat penaikan pajak tembakau.
2.
Langkah
Strategis untuk mengatasi polemik keberadaan rokok di Indonesia
A. Strategi Penanggulangan Rokok Efektif
Sehat adalah hak asasi
manusia, begitupun hak untuk menghirup udara bersih yang erat dengan kesehatan.
Di sisi lain merokok juga hak setiap orang tetapi melepaskan asap yang
berbahaya bagi orang lain bukanlah hak perokok, dan telah mengurangi hak orang
lain untuk sehat.Terlepas dari menghakimi perbuatan si perokok, populasi non
perokok haruslah dilindungi dari bahaya asap rokok. Beberapa strategi yang
direkomendasikan WHO adalah:
1. Satu-satunya
cara yang paling efektif yaitu menghilangkan sumber polusi, dalam hal ini asap
rokok, dengan menyediakan lingkungan kerja yang 100% bebas asap rokok.
Memberikan area khusus merokok baik dengan ventilasi yang terpisah maupun tidak
dengan area bebas rokok tidak menurunkan tingkat risiko paparan asap rokok, dan
hal ini sangat tidak dianjurkan
2. Menetapkan
hukum yang menjamin tempat kerja dan sarana publik yang tertutup 100% bebas
asap rokok. Hukum harus berlaku universal dan mengikat semua pihak. Hanya
kebijakan setempat tidak direkomendasikan karena tidak memberikan perlindungan
seperti yang diharapkan.
3. Penetapan
hukum saja tidak cukup, harus diserta pelaksanaan yang tepat dan penegakan
secara adekuat.
4. Strategi
penegakan hukum terhadap lingkungan kerja yang bebas asap rokok secara otomatis
akan mempengaruhi perilaku seseorang untuk ikut membuat lingkungan rumahnya
bebas asap rokok.
B. Strategi Pengendalian Tembakau
FCTC (Framework
Convention on Tobacco Control) atau kerangka kerja konvensi pengendalian
tembakau adalah suatu konvensi hukum internasional dalam pengendalian masalah
tembakau yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi negara yang
meratifikasinya. Naskah FCTC yang merupakan perjanjian global pertama tentang
kesehatan masyarakat telah disepakati oleh 192 negara anggota WHO (World
Health Organization) dalam sidang Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2003.
FCTC harus melalui beberapa tahap agar bisa bermanfaat bagi kesehatan manusia. Langkah
selanjutnya adalah penandatanganan oleh negara peserta. Penandatanganan tidak
otomatis mengikat negara untuk meratifikasinya, tetapi hanya menunjukkan negara
tersebut serius untuk menentukan posisinya dengan memperhatikan isi FCTC. Batas
akhir penandatanganan adalah 29 Juni 2004. Tahap berikutnya adalah proses
ratifikasi yaitu pemerintah dan DPR setuju untuk menindaklanjuti perjanjian
yang berkaitan sesuai konstitusi yang berlaku. Pemerintah wajibmenyerahkan
instrumen ratifikasi kepada sekjen PBB. Dalam jangka waktu 1 tahun setelah
perjanjian diundangkan, akan diadakan konferensi negara anggota yang
meratifikasi dengan tujuan memonitor dan mengevaluasi penerapan perjanjian di masing-masing
negara. Selanjutnya 90 hari setelah minimal 40 negara meratifikasi, FCTC akan
menjadi hukum internasional. Saat ini tercatat 168 negara menan-datangani FCTC dan
57 telah meratifikasinya. FCTC yang terdiri dari 11 bab dan 38 pasal berisi:
1. Kebijakan
harga dan Cukai rokok;
2. Iklan,
sponsorship dan promosi
3. Pelabelan:
peringatan kesehatan dan pernyataan yang menyesatkan
4. Undang-undang
udara bersih
5. Pengungkapan
dan pengaturan kandungan produk serta
6. Penyelundupan
Di dunia internasional,
upaya penanggulangan masalah bahaya merokok di dunia saat ini mengalami
kemajuan pesat ditandai dengan diresmikannya FCTC tersebut menjadi hukum
internasional pada tanggal 27 Februari 2005.
Pemerintah Indonesia
yang diwakili oleh Depatemen Kesehatan, Departemen Luar Negeri, Departemen Perindustrian
dan Perdagangan, Departemen Keuangan, Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan)
ikut secara penuh dalam semua perundingan FCTC dan menjadi anggota drafting
committee. Yang menimbulkan pertanyaan adalah fakta bahwa sampai saat ini
Indonesia merupakan satusatunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC
sampai batas penutupan akhir Juni 2004 lalu.Tidak seriuskah pemerintah
Indonesia melindungi warganya, khususnya generasi muda dari bahaya penyakit
yang ditimbulkan akibat asap rokok? Indonesia merupakan konsumen rokok
tertinggi kelima di dunia. Jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002
sebanyak 182 milyar batang rokok setiap tahunnya setelah Republik Rakyat China
(1 697 291 milyar), Amerika Serikat (463 504 milyar), Rusia (375 000 milyar)
dan Jepang (299 085 milyar). Sebanyak 60 % kaum pria dewasa muda di Indonesia
adalah perokok. Fenomena ini biasa terjadi di negara berkembang. Di negara maju
jumlah pria muda yang merokok terus menurun hingga 30%. Hal tersebut disebabkan
kesadaran yang lebih tinggi akan dampak negatif yang ditimbulkan di masa yang akan datang.1,11
Jika penyakit akibat rokok timbul 15-20 tahun kemudian, bisa dibayangkan bahwa
Indonesia akan kehilangan 60% produktivitas yang seharusnya dihasilkan oleh
pria dewasa. Dengan prediksi tersebut masih sedemikian berat dan takutnyakah
pemerintah Indonesia kehilangan keuntungan ekonomi yang dianggap didapatkan
dari perkembangan industri rokok di Indonesia.
3. Upaya Pengendalian Tembakau di Indonesia
Sebenarnya Indonesia
dapat melakukan ekstensifikasi cukai, karena selama ini cukai dipungut hanya
terhadap 3 jenis barang yaitu etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan
hasil tembakau. Dalam rangka ekstensifikasi, Ditjen Bea dan Cukai mencoba
memperkenalkan 12 jenis barang kena pajak untuk mendapat masukan dari berbagai
pihak. Malaysia mengenakan cukai terhadap 14 jenis barang, Singapura 10 jenis
barang, India 28 jenis barang dan Jepang 24 jenis barang. 12 Dengan demikian,
ketakutan pembatasan rokok dengan alasan mengurangi pemasukan negara dari cukai
rokok seharusnya tidak beralasan. Penetapan peraturan Menteri Keuangan (Menkeu)
No 134/PMK-04/2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menkeu No
43/PMK.04/2007 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau
menjadi langkah maju terhadap pengendalian tembakau di Indonesia. Kebijakan ini
menetapkan tarif baru cukai rokok, yang rencananya akan mulai diberlakukan
mulai 1 Januari 2008. Seperti saat rencana penaikan cukai sebelumnya, selalu
terdapat reaksi keras dari para pengusaha rokok. Alasan yang dikemukakan klise,
yaitu akan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat penurunan pangsa pasar
dan kemungkinan akan dilakukannya efisiensi dengan mengurangi atau maksimal
stagnasi jumlah tenaga kerja karena akan digantikan mesin. Kita tunggu apakah
pemerintah berani merealisasikan keputusan tersebut, mengingat selama ini telah
beberapa kali dilakukan penundaan pelaksanaan keputusan sejenis. Pemerintah
telah menetapkan kebijakan nasional berupa Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun
2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Kebijakan tersebut seakan tidak
bermakna karena kurangnya sosialisasi dan tidak adanya sanksi hukum yang jelas
bagi pelanggar. Kebijakan regional baru ada di DKI dan Bogor antara lain
mengenai pengendalian rokok di tempat kerja di lingkungan pemerintah,
pengendalian pencemaran udara dan penetapan kawasan dilarang merokok yang
disertai sanksi pidana bagi pelanggarnya. Pemerintah terkesan ragu dalam
penegakan hukumnya karena realisasi kebijakan tersebut menimbulkan polemik di
masyarakat.
4. Kebijakan Pemerintah
Terkait rokok
Dari segi kesehatan,
jelas bahwa produk tembakau termasuk rokok lebih banyak memiliki efek negatif
daripada positifnya. Jika ditinjau dari segi ekonomi, pendapatan negara yang
diterima dari cukai rokok meliputi rata-rata 5% dari total APBN, tetapi sebagai
perbandingan beban kesehatan yang diterima akibat rokok mencapai 30-40 triliun,
setara bahkan lebih dari cukai yang dibayarkan oleh industri rokok. Jika
dilihat dari anggaran kesehatan tahun 2006 yang hanya dialokasikan sebesar 6%
dari total APBN, itupun terbagi untuk berbagai program kesehatan pemerintah,
maka biaya kesehatan akibat rokok sebagian besar kembali ditanggung sendiri
oleh rakyat. Dari lingkup sosial, industri rokok menyediakan lapangan kerja
bagi sekitar 10 juta angkatan kerja, atau jika dilihat dari jumlah angkatan
kerja yang mencapai 100 juta tiap tahunnya, maka jumlah tersebut mengurangi 10%
pengangguran. Dilihat dari pihak buruh rokok, penghasilan mereka rata-rata Rp
200 000 sampai 1 juta perbulan. Jika dilihat dari UMR rata-rata pekerja di
Pulau Jawa tempat industri rokok paling banyak terdapat-sekitar Rp 350 000-Rp
700 000 (terendah di Jawa Timur dan tertinggi di DKI Jakarta), maka banyak
orang tertopang hidupnya dari industri ini. Namun jika mereka digolongkan
sebagai masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, sesuai data yang
ada rata-rata rumah tangga mereka juga menghabiskan 10% penghasilan untuk rokok
yang seharusnya dapat diutamakan penggunaannya untuk membeli makanan bergizi
dan pendidikan anak-anak. Selain itu beban kesehatan otomatis meningkat sebagai
manifestasi asap rokok yang terus mengepul di dalam rumah. Walaupun pihak
pengusaha rokok menanamkan citra yang benar dalam besarnya tenaga kerja yang
dapat diserap, bisa dipahami bahwa rokok belum dapat diklaim meningkatkan kesejahteraan
pekerja yang terlibat dalam industri ini. Industri rokok apalagi industri
raksasa merupakan aset nasional, apalagi bagi daerah/kota tempat industri
tersebut berdiri. Selain merupakan tambang emas bagi kas daerah yang
bersangkutan, pembangunan infrastruktur kota biasanya tidak dapat dipisahkan
dari keberadaan pabrik tersebut. Dampak positif lain yang diberikan adalah
penciptaan lapangan kerja, pembinaan olahraga, pemberian beasiswa pendidikan
dan penyediaan fasilitas sosial serta fasilitas umum. Strategi pemasaran
industri rokok merupakan tehnik pemasaran tingkat tinggi. Dengan pemenuhan
berbagai kebutuhan dasar sampai kebutuhan sosial, masyarakat yang tidak tahu
semakin tidak mau tahu bahaya yang mengintai dibalik kerajaan rokok baik untuk
diri sendiri maupun orangorang terdekatnya. Tidak hanya masyarakat, pemerintah
pun seakan terbuai dengan propaganda keuntungan yang diberikan industri ini
sehingga menutup mata terhadap berbagai ancaman bagi warganya baik untuk saat
ini maupun beberapa dekade ke depan. Saat ini telah disusun RUU mengenai
Pengendalian Dampak Tembakau, namun belum menjadi agenda prioritas badan
legislatif untuk dibahas lebih lanjut. Secara umum masalah kesehatan memang
masih dianggap tidak sepenting masalah lain seperti sosial dan ekonomi yang
dampaknya langsung terlihat. Masalah tembakau dampak kesehatan, sosial dan
ekonominya tidak langsung serta baru akan tampak dalam beberapa dekade ke
depan. Keberanian pemerintah untuk memutuskan kenaikan pajak dari rokok,
direncanakan terhitung sejak Januari 2008 merupakan langkah maju. Walaupun
mendapat banyak tantangan dari pihak lain, tetapi sebaiknya terus dilakukan
edukasi baik untuk masyarakat maupun para pemangku kepentingan lain mengenai
dampak positif kebijakan ini. Kekuatiran banyak beredarnya rokok illegal
ataupun meluasnya pemakaian pita cukai palsu dapat dihilangkan dengan
pelaksanaan dan penegakan hukum yang tepat. Berbagai studi di banyak negara
menunjukkan bahwa peningkatan pajak merupakan salah satu langkah efektif
pengendalian dampak rokok, dan ternyata tidak memberikan imbas ekonomi seperti
yang ditanamkan selama ini. Hal tersebut menjadi penguat bahwa Indonesia
seharusnya lebih tegas dan berani menerapkan kebijakan pengendalian tembakau.
Upaya promotif preventif dengan penetapan kebijakan publik di tingkat nasional
maupun daerah disertai upaya sinergi lintas sektor turut mendukung upaya
pengendalian dampak tembakau. Promosi kesehatan, dalam masalah rokok khususnya,
harus dalam bentuk yang lebih mengena ke masyarakat. Dengan data bahwa
masyarakat pedesaan ataupun masyarakat golongan bawah merupakan pengguna
terbesar tembakau maka bahasa promosi kesehatan harus disesuaikan dengan target
tersebut. Upaya kuratif rehabilitatif dilakukan dengan sosialisasi berbagai
cara mengatasi kecanduan merokok, disertai pelatihan/peningkatan SDM untuk
melakukan terapi berhenti merokok, mengingat efek adiktif nikotin memang
mempersulit berhenti merokok, Pembentukan kelas atau kelompok berhenti merokok
bisa menjadi salah satu alternatif.
BAB III
PENUTUP
Rokok
merupakan bentuk produk tembakau yang terbanyak dikonsumsi di dunia, sehingga
produk tembakau cenderung identik dengan rokok. Rokok mengandung 4000 elemen
dan 200 diantaranya sudah terbukti merugikan kesehatan serta menimbulkan
penyakit mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Efek buruk kesehatan
tersebut diderita baik oleh perokok itu sendiri maupun orang-orang di
sekitarnya (perokok pasif), mulai janin dalam kandungan sampai orang dewasa. Dilihat
dari segi ekonomi, rokok memang memberikan kontribusi keuntungan signifikan, Walaupun
perkiraan biaya yang didapat sangat bervariasi tergantung faktor-faktor yang
diteliti, namun beban ekonomi yang ditimbulkan cukup signifikan, termasuk biaya
kesehatan langsung maupun tidak langsung dan kerugian akibat turunnya
produktivitas. Sebagai tambahan, tempat kerja yang mengizinkan merokok biasanya
membutuhkan biaya renovasi, kebersihan dan pemeliharaan yang lebih tinggi,
serta tingginya tingkat risiko kebakaran yang mempengaruhi tingginya premi
asuransi yang harus dikeluarkan perusahaan.
Langkah Strategis untuk mengatasi polemik keberadaan
rokok di Indonesia yaitu dengan melakukan pengendalian tembakau, Hal
tersebut menjadi penguat bahwa Indonesia seharusnya lebih tegas dan berani menerapkan
kebijakan pengendalian tembakau. Upaya promotif preventif dengan penetapan
kebijakan publik di tingkat nasional maupun daerah disertai upaya sinergi
lintas sektor turut mendukung upaya pengendalian dampak tembakau. Promosi
kesehatan, dalam masalah rokok khususnya, harus dalam bentuk yang lebih mengena
ke masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Moeloek FA.
Kebijakan publik yang berdampak pada kesehatan. Konferensi Nasional Promosi Kesehatan ke-4;17-21 Juli 2006; Makasar.
Achadi,Anhari.2008Regulasi
pengendalian rokok di indonesia. Jurnal kesehatan masyarakat Nasional, Vol2 No
4.
Cahyono
JB S.2008. gaya hidup dan penyakit modern. Yogyakarta : Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar