Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok secara sistematis, masif dan terus menerus mengkondisikan anak menjadi perokok pemula. Massifnya iklan, promosi, dan sponsor rokok menjadi pemicu naiknya jumlah perokok anak dan remaja secara drastis. Industri rokok di Indonesia memiliki kebebasan yang hampir penuh mempromosikan produknya dengan berbagai cara. Adalah berbohong jika iklan rokok ditujukan untuk mengingatkan agar perokok beralih ke produk baru.
Kenyataannya
adalah iklan rokok ditujukan untuk mencari perokok baru. Bagi orang yang sudah
kecanduan merokok, ada atau tidak ada iklan ia tetap mencari dan membeli rokok
pertama yang sudah dicandunya. Sekali kecanduan, ia tidak dapat lepas lagi dari
cengkraman rokok dan biasanya setia pada produk yang sudah biasa ia hisap.
Oleh karena
itu, tidak masuk akal jika iklan rokok dimaksudkan kepada mereka yang sudah
merokok. Satu-satunya kemungkinan iklan rokok lebih ditujukan untuk mencari
perokok baru, terutaam di kalangan anak-anak dan remaja karena sekali mereka
sudah terjerat, seumur hidup ia akan menjadi pembeli produk rokok tersebut.
Iklan rokok
lebih tepat disebut sebagai media untuk mencari mangsa baru. Laporan Myron E.
Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Phillip Morris menyebutkan
“Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas
perokok memulai merokok ketika remaja.” Pernyataan ini didukung oleh R.J
Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984 dalam “Perokok Remaja:
Strategi dan Peluang” yang mengatakan, “Perokok remaja telah menjadi faktor
penting dalam perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir.
Perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja
tidak merokok maka industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang
tidak melahirkan generasi penerus akan punah..”
Hampir semua
iklan rokok bertemakan remaja. Perusahaan rokok tahu betul strategi memangsa
remaja yaitu “pedekate” lewat musik, olahraga, gaya hidup, budaya, dan agama.
Hampir setiap konser di negeri ini disponsori rokok, hampir setiap lapangan
olahraga di negeri ini dicat dengan logo rokok, pagelaran seni dan budaya pun
tak luput dari gambar rokok, bahkan perdagangan nikotin ini muncul di spanduk-spanduk
seruan keagamaan, belum lagi beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa
Indonesia yang jika ditilik ulang beasiswa tersebut berasal dari uang penduduk
miskin yang tergerus oleh nikotin di dalam rokok.
Strategi
pedekate kepada remaja dengan music, olahragam gaya hidup, budaya, dan agama
ini disebut sebagai strategi membangun imej “good corporate citizen” sekaligus
strategi untuk membungkam pemerintah dan menarik simpati masyarakat.
Iklan-iklan tersebut menjadikan merokok adalah hal yang positif dan tidak
berbahaya, malah seakan-akan dianggap “mulia” karena pesan sosial yang menjadi
kedok kebejatan produknya.
Kembali ke
pertanyaan Ismet Soeltani tadi, “Jika memang rokok sangat berbahaya? Mengapa
perusahaan rokok tidak ditutup? Mengapa pemerintah diam saja?” Maka jawabannya
adalah pemerintah sebenarnya bukan diam tapi dibungkam. Lalu, pertanyaan Rahmad
Arif, “Apakah Kakak pernah dimarahi perusahaan rokok karena apa yang kakak
lakukan ini akan membuat perusahaan-perusahaan rokok tersebut bangkrut?” Maka
jawabannya adalah bagaimana perusahaan rokok akan marah karena yang tengah
dibicarakan bukan isapan jempol melainkan data dan fakta yang dikumpulkan dari
melihat, mendengar, dan merasakan.
Dalam
menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh pada 31 Mei ini, WHO bersama
Depkes dan Dinkes serta kalangan akademisi Kesehatan Masyarakat juga ahli para
dalam Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) yang turut didukung oleh
mahasiswa terus berupaya mengajak generasi Indonesia menjauh dari “produk amazing
yang membunuh bangsa ini” yaitu rokok. Sementara kepada yang telah terlanjur
merokok pilihannya hanya dua : “Stop Smoking or Stop Breathing, Berhenti
Merokok atau Ikhlaskan Nyawa Anda Sekarang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar