Pernah ku baca
buku-buku sejarah tentang negeri Indonesia. Ternyata negeri ini bukanlah sebuah
negeri yang cengeng. Negeri ini berisi orang-orang tangguh. Tak hanya tangguh,
negeri ini juga sarangnya orang pintar. Kemerdekaan saja, direbut dengan jalur
diplomasi dan jalur fisik. Jika ku baca lagi, ternyata orang-orang muda adalah
para perintis kemerdekaan itu, luar biasa! Banyak yang bilang kalau negeri ini,
negeri yang tertinggal. Ah..aku pesimis akan pendapat itu. Negeriku pernah
membuat pesawat terbang! Setiap hari kudengar delegasi-delegasi pelajar
Indonesia, memenangkan berbagai macam perhelatan kompetensi bergengsi di level
internasional.
Banyak orang yang bilang kalau
negeri ini negeri pemalas. Sekali lagi, aku tidak sependapat. Coba tengok ke
pasar-pasar tradisional saat shubuh menjelang, bahkan saat tengah malam! Geliat
aktivitas ekonomi ini sudah dimulai saat orang-orang lain masih terlelap
dalam tidurnya. Banyak juga yang bilang kalau negeriku, negeri yang mudah
tercerai berai. Oalaah..coba tengok sejarah lagi. Apakah sumpah pemuda tahun
1928 itu bukan sebuah bukti bahwa negeri ini sangat bersatu? Tidakkah terlihat
bahwa pemuda-pemuda di negeri ini sangat bangga menjadi anak negeri ini?
Aku yakin bahwa di sudut-sudut
negeri ini, masih banyak pemuda-pemuda yang sepikiran denganku. Pemuda-pemuda
yang menolak negerinya terus dicap sebagai negeri yang cengeng, tertinggal,
pemalas ataupun negeri yang rapuh. Ah..andai saja aku diberi kesempatan untuk
bertemu dengan pemuda-pemuda berkarakter itu, mungkin akan ada sesuatu yang
tercipta untuk bangsaku. Pasti!
Pemuda berkarakter idealnya
hadir untuk berperan sebagai bagian dari masyarakat (ordinary people)
sekaligus kaum intelektual (educated people). Mereka adalah sekelompok
masyarakat yang tercerahkan (enlightened) dan bertanggungjawab menjadi
penggerak perubahan (director of change).
Bukan sekedar memiliki kepekaan
untuk mampu merasakan suatu keganjilan realitas sosial (simpatik dan empatik),
namun juga aksi riil yang walau dalam skala kecil/lokal tapi mampu memberi daya
sengat dan pengaruh nyata. Jika kita meracik konsepsi intelektual yang pernah
dipikirkan oleh para intelektual terdahulu, bahwa sebenarnya seorang
intelektual itu adalah manusia penjaga moral (Julian Benda) yang menyadari kehadirannya
adalah untuk menjadi bagian dari rakyat yang termarginalkan (Antonio Gramsci),
sehingga di atas pundaknya terdapat tanggung jawab untuk memperbaiki realitas
sosial di sekitarnya (Ali Syariati). Lantas yang menjadi pertanyaan adalah,
intelektual macam apa yang berlaku bagi pemuda dalam konteks Indonesia saat
ini?
PAMI hadir
untuk menjawab pertanyaan kritis-reflektif tersebut. Jika pergerakan masa lalu
di era sebelum kemerdekaan yang melahirkan Indonesia berhasil memancangkan sebuah
wacana atau pikiran, dilanjutkan dengan pergerakan dalam perjalanan mengisi
kemerdekaan hingga babak reformasi, maka setelah 66 tahun Indonesia merdeka,
apa yang sudah kita (pemuda) lahirkan hari ini? Yang harus kita lakukan adalah,
mencipta jalan pencerahan di zaman kita sendiri. Sebuah jalan kontribusi tanpa
henti. Karena sejarah telah lahir dengan segala kekurangannya, maka generasi
setelah sejarah, wajib mengamandemen sejarah itu sendiri agar poros perubahan
itu dapat abadi dikenang oleh zaman.
Sebuah diktum menyentak kesadaran kolektif kami di pergerakan anggota muda IAKMI untuk tak
henti berkontribusi mengawal dan mengisi perjalanan transformasi bangsa. Ia
pernah bertutur, “Mari tinggalkan pola pikir seekor burung, yang memungkinkan
kita melihat segala-galanya jauh dari atas, dari langit. Mulailah dengan
memiliki cara pandang seekor cacing tanah, yang berusaha mengetahui apa saja
yang terpapar persis di depan mata—mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat
apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan”. Pramoedya Ananta Toer kemudian
menegaskan, bahwa “Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau dia tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal
sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.”
Pada titik
inilah, PAMI ingin mengajak para pemuda Kesemas Prov. Bengkulu untuk
terus bergerak secara membumi dan mengakar demi menyehatkan Indonesia. Analoginya
seperti sekelompok penerjun payung. Tidak cukup hanya sebentuk
keyakinan untuk mampu terjun. Kita juga harus punya bekal dan pengetahuan.
Apakah sudah memakai tas parasut, lalu bagaimana cara membuka, dan
menggunakannya agar turun di sasaran yang tepat. Belum cukup. Kita butuh kawan
sesama penerjun agar jika terjadi kesalahan yang tidak diinginkan, ada teman
seperjuangan yang mampu mengingatkan dan menguatkan untuk mencapai tujuan.
Begitulah idealisme kolektif dibangun. Kita harus mencipta sistem dan nilai
yang diawali oleh keyakinan dan keberanian. Tapi selanjutnya harus ada
kepahaman, dukungan, dan perencanaan maksimal untuk berkarya dalam kenyataan.
Artinya, para pemuda Indonesia
harus memiliki modalitas personal yang mampu bersinergi dengan realitas komunal
dan sosial yang melingkupinya. Komunalitas ini berarti kumpulan pemuda lain
yang ekspresinya tercermin berdasarkan minat, peran, dan kapasitas
masing-masing dalam jalan panjang perubahan Indonesia yang nyata. Sedangkan,
sosial tercermin dari peran masing-masing dari mereka dalam memberdayakan
segala potensinya untuk berdaya guna di masyarakat kelak. Mari bergerak! Salam
pengabdian.
~Totalitas berkonstribusi~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar