Halaman

Senin, 17 Desember 2012

Pemuda itu


Pemuda itu..
Pernah ku baca buku-buku sejarah tentang negeri Indonesia. Ternyata negeri ini bukanlah sebuah negeri yang cengeng. Negeri ini berisi orang-orang tangguh. Tak hanya tangguh, negeri ini juga sarangnya orang pintar. Kemerdekaan saja, direbut dengan jalur diplomasi dan jalur fisik. Jika ku baca lagi, ternyata orang-orang muda adalah para perintis kemerdekaan itu, luar biasa! Banyak yang bilang kalau negeri ini, negeri yang tertinggal. Ah..aku pesimis akan pendapat itu. Negeriku pernah membuat pesawat terbang! Setiap hari kudengar delegasi-delegasi pelajar Indonesia, memenangkan berbagai macam perhelatan kompetensi bergengsi di level internasional.

Banyak orang yang bilang kalau negeri ini negeri pemalas. Sekali lagi, aku tidak sependapat. Coba tengok ke pasar-pasar tradisional saat shubuh menjelang, bahkan saat tengah malam! Geliat aktivitas ekonomi ini sudah dimulai saat orang-orang lain  masih terlelap dalam tidurnya. Banyak juga yang bilang kalau negeriku, negeri yang mudah tercerai berai. Oalaah..coba tengok sejarah lagi. Apakah sumpah pemuda tahun 1928 itu bukan sebuah bukti bahwa negeri ini sangat bersatu? Tidakkah terlihat bahwa pemuda-pemuda di negeri ini sangat bangga menjadi anak negeri ini?

Aku yakin bahwa di sudut-sudut negeri ini, masih banyak pemuda-pemuda yang sepikiran denganku. Pemuda-pemuda yang menolak negerinya terus dicap sebagai negeri yang cengeng, tertinggal, pemalas ataupun negeri yang rapuh. Ah..andai saja aku diberi kesempatan untuk bertemu dengan pemuda-pemuda berkarakter itu, mungkin akan ada sesuatu yang tercipta untuk bangsaku. Pasti!

 

Pemuda berkarakter idealnya hadir untuk berperan sebagai bagian dari masyarakat (ordinary people) sekaligus kaum intelektual (educated people). Mereka adalah sekelompok masyarakat yang tercerahkan (enlightened) dan bertanggungjawab menjadi penggerak perubahan (director of change).

Bukan sekedar memiliki kepekaan untuk mampu merasakan suatu keganjilan realitas sosial (simpatik dan empatik), namun juga aksi riil yang walau dalam skala kecil/lokal tapi mampu memberi daya sengat dan pengaruh nyata. Jika kita meracik konsepsi intelektual yang pernah dipikirkan oleh para intelektual terdahulu, bahwa sebenarnya seorang intelektual itu adalah manusia penjaga moral (Julian Benda) yang menyadari kehadirannya adalah untuk menjadi bagian dari rakyat yang termarginalkan (Antonio Gramsci), sehingga di atas pundaknya terdapat tanggung jawab untuk memperbaiki realitas sosial di sekitarnya (Ali Syariati). Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, intelektual macam apa yang berlaku bagi pemuda dalam konteks Indonesia saat ini?

PAMI hadir untuk menjawab pertanyaan kritis-reflektif tersebut. Jika pergerakan masa lalu di era sebelum kemerdekaan yang melahirkan Indonesia berhasil memancangkan sebuah wacana atau pikiran, dilanjutkan dengan pergerakan dalam perjalanan mengisi kemerdekaan hingga babak reformasi, maka setelah 66 tahun Indonesia merdeka, apa yang sudah kita (pemuda) lahirkan hari ini? Yang harus kita lakukan adalah, mencipta jalan pencerahan di zaman kita sendiri. Sebuah jalan kontribusi tanpa henti. Karena sejarah telah lahir dengan segala kekurangannya, maka generasi setelah sejarah, wajib mengamandemen sejarah itu sendiri agar poros perubahan itu dapat abadi dikenang oleh zaman.

Sebuah diktum menyentak kesadaran kolektif kami di pergerakan anggota muda IAKMI untuk tak henti berkontribusi mengawal dan mengisi perjalanan transformasi bangsa. Ia pernah bertutur, “Mari tinggalkan pola pikir seekor burung, yang memungkinkan kita melihat segala-galanya jauh dari atas, dari langit. Mulailah dengan memiliki cara pandang seekor cacing tanah, yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata—mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan”. Pramoedya Ananta Toer kemudian menegaskan, bahwa “Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau dia tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.”

 Pada titik inilah, PAMI ingin mengajak para pemuda Kesemas Prov. Bengkulu untuk terus bergerak secara membumi dan mengakar demi menyehatkan  Indonesia. Analoginya   seperti sekelompok penerjun payung. Tidak cukup hanya sebentuk keyakinan untuk mampu terjun. Kita juga harus punya bekal dan pengetahuan. Apakah sudah memakai tas parasut, lalu bagaimana cara membuka, dan menggunakannya agar turun di sasaran yang tepat. Belum cukup. Kita butuh kawan sesama penerjun agar jika terjadi kesalahan yang tidak diinginkan, ada teman seperjuangan yang mampu mengingatkan dan menguatkan untuk mencapai tujuan. Begitulah idealisme kolektif dibangun. Kita harus mencipta sistem dan nilai yang diawali oleh keyakinan dan keberanian. Tapi selanjutnya harus ada kepahaman, dukungan, dan perencanaan maksimal untuk berkarya dalam kenyataan.

Artinya, para pemuda Indonesia harus memiliki modalitas personal yang mampu bersinergi dengan realitas komunal dan sosial yang melingkupinya. Komunalitas ini berarti kumpulan pemuda lain yang ekspresinya tercermin berdasarkan minat, peran, dan kapasitas masing-masing dalam jalan panjang perubahan Indonesia yang nyata. Sedangkan, sosial tercermin dari peran masing-masing dari mereka dalam memberdayakan segala potensinya untuk berdaya guna di masyarakat kelak. Mari bergerak! Salam pengabdian.
 
~Totalitas berkonstribusi~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India